Organisasi Mahasiswa di Era Disruptif
“Didiklah rakyat dengan organisasi dan didiklah penguasa dengan perlawanan.”
Pramoedya Ananta Toer
Perguruan tinggi merupakan salah satu lembaga pendidikan yang diharapkan dapat merealisasikan dan mewujudkan suatu tujuan pendidikan nasional. Perguruan tinggi diharapkan mampu mengembangkan bakat dan minat mahasiswa melalui pengembangan kegiatan kemahasiswaan. Berbagai kegiatan kemahasiswaan diharapkan dapat menunjang peningkatan kualitas kemampuan intelektual dan kemampuan sikap.
Pendidikan dan pembentukan karakter dalam dunia kemahasiswaan sangat erat dengan lembaga atau organisisasi mahasiswa yang berfungsi untuk mewadahi minat berlembaga, membangun wawasan manajemen, pemikiran kritis, melatih retorika, menjunjung tinggi nilai solidaritas, dan mengasah kemampuan sosial mahasiswa. Adapun visi dan misi berbagai organisasi mahasiswa bermacam-macam, hal ini didorong dari berbagai faktor mulai dari lingkungan, budaya, ekonomi, sosial, teknologi, bahkan otoritas.
Para praktisi menyebut abad sekarang adalah era organisasi. Organisasi menjadi alat yang ampuh untuk mempercepat pencapaian tujuan. Manusia berhimpun dalam suatu kelompok atau organisasi untuk memadukan kemampuannya sehingga diperoleh sinergi yang kuat dalam mewujudkan tujuan bersama. Dengan adanya wadah, maka timbul usaha untuk mengaturnya, mulai dari pembagian kerja, komunikasi antarindividu, pemberian upah atau gaji, kenaikan pangkat atau golongan, serta timbulnya strata atau hierarki dalam organisasi. Semakin berkembang menjadi besar suatu organisasi, semakin kompleks pula masalah yang dihadapi, terutama masalah yang berkaitan dengan sumber daya manusia
Organisasi modern dijalankan dengan prinsip rasional dengan mengedepankan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai pedoman operasional. Beberapa penemuan oleh para ahli teknik dan manajemen telah membantu perkembangan organisasi, baik organisasi pemerintahan maupun organisasi bisnis. Sebagai contoh penemuan yang dikemukakan oleh Taylor tentang scientific management, sistem manajemen administratif oleh Fayol, manajemen dengan pendekatan hubungan manusia oleh Elton Mayo, manajemen behavioral oleh Herbert Simon, dan kemudian pendekatan manajemen dengan ilmu manajemen oleh Blackeet (dalam Winardi, 2002).
Organisasi mahasiswa membutuhkan motor penggerak dalam melanjutkan tongkat estafet dari organisasi tersebut. Tanpa adanya regenerasi dalam organisasi, maka dapat dipastikan bahwa organisasi tersebut mati secara eksistensi maupun esensi. Karena tanpa anggota organisasi tidak dapat bergerak. Maka dari itu untuk dapat menjalankan kembali roda organisasi dengan baik dijalankan lah kaderisasi. Organisasi hidup dalam waktu yang tidak dapat dipastikan, tetapi yang jelas organisasi harus bertahan dan berkelanjutan. Organisasi membutuhkan SDM yang berkualitas, baik pemimpin maupun pengikutnya. Diharapkan pergantian pemimpin dalam organisasi tidak akan mengganggu pelaksanaan visi dan misi.
Ada berbagai macam cara suatu negara dan organisasi lainnya dalam negara untuk mempersiapkan pemimpinnya berdasarkan falsafah yang dianut oleh negara atau organisasi tersebut, misalnya melalui partai, tokoh kuat sebagai pendiri bangsa atau negara, tokoh senior dalam perusahaan, pemegang saham terbesar, dan lain-lain. Sedemikian besarnya peranan pemimpin dalam organisasi dalam bentuk apapun, maka pengkaderan calon pemimpin dalam suatu organisasi merupakan langkah yang sangat penting. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kekosongan pemimpin dalam organisasi, yang dapat menghambat eksistensi organisasi.
Dari sedikit penjelasan diatas, ada perbedaan mendasar antara organisasi mahasiswa dengan organisasi formal pada umumnya. Organisasi formal lebih mengedepankan pada profit oriented (orientasi hasil) sedangkan organisasi mahasiswa lebih ditujukan pada value oriented (orientasi nilai). Orientasi hasil efektif berjalan pada birokrasi perusahaan yang mengedepankan keuntungan, dan produksi dari hasil para pekerjanya dengan melihat hasil manajemen produksi dan program kerja yang efisien, ini dipengaruhi oleh model kaderisasi barat yang mengedepankan keberhasilan dari hasil yang dicapai suatu perusahaan. Tapi kekurangan dari model ini adalah para pekerja cenderung merasa teralienasi dan kurang berkembang dalam prosesnya dikarenakan makna dari pekerjaan mereka tereduksi oleh produk yang mereka ciptakan, yang belum tentu berdampak langsung terhadap kehidupan mereka.
Sementara kaderisasi pendidikan mengedepankan nilai sebagai hal yang utama dalam proses kerja. Kaderisasi ini membuka ruang mediasi intelektual bagi kader dan merupakan hal yang sangat signifikan, kebutuhan ini menjadi mendesak untuk dilakukan karena pada dasarnya seluruh kegiatan organisasi berorientasi pada pemberdayaan intelektual. Ketika ruang pengetahuan kader kosong, nisbi, nihil, bahkan tidak ada tradisi dialektika, maka yang terjadi adalah stagnasi gerakan pemikiran dan gerakan sosial. Tidak mungkin ketika ruang pengetahuan kosong akan terjadi gerakan revolusioner, yang terjadi hanyalah gerakan reaksioner yang elitis. Organisasi sebagai suatu sistem yang menyeluruh, membutuhkan basis kontitue yang militant dan ideologis, hal ini tidak akan terwujud tanpa ada gagasan dasar kaderisasi pendidikan yang memiliki nilai lebih kepada mahasiswa.
Secara etimologi kita dapat mengacu pada definisi kader menurut ahli bahasa Inggris, A. S. Hornby. Dalam kamus Oxford dijelaskan “Cadre is a small group who are specially choosen and trained for a particular purpose, or cadre is a member of this kind of group; they were become the cadres of a new community party.” Artinya, “sekelompok orang yang terorganisisr secara terus menerus dan akan menjadi tulang punggung organisasi bagi kelompok yang lebih besar.” Untuk imbuhan -isasi, kira mengacu pada ahli linguistik Harimurti Kridalaksana, imbuhan -isasi berarti proses.
Jadi dapat dikatakan bahwa kader adalah subjek, sementara objeknya adalah proses atau pendidikan. Jika kita mengacu pada filsuf pendidikan seperti Ki Hajar Dewantara, Benjamin S. Bloom, Jean Piaget, Paulo Freire, Ivan Illich, dan Rudolf Steiner maka akan kita dapati bahwa Pendidikan adalah akar dari segala kemajuan suatu bangsa, atau perspektif yang lebih mikro seperti organisasi mahasiswa.
Yang menjadi pertanyaan mengapa organisasi mahasiswa dan pendidikan harus selaras? Karena tanpa sumber daya manusia yang mumpuni maka proses organisasi akan kehilangan arah bahkan yang lebih buruknya kurangnya partisan dalam organisasi. Mari kita lihat perjalanan organisasi mahasiswa pada dekade terakhir ini. Kita akan dapati bahwa banyak organisasi mahasiswa yang memiliki satu penyakit yang sama, apa itu? Penyakit social loafing atau kemalasan sosial.
Kemalasan sosial adalah penurunan motivasi dan usaha individu-individu apabila bekerja secara kolektif dalam sebuah kelompok dibanding apabila individu-individu bekerja secara sendiri. Tapi jangan salah menilai definisi diatas, karena bisa jadi faktor kemalasan sosial bukan hanya karena banyaknya kepala, bahkan dapat juga terjadi di organisasi yang lebih kecil jumlah anggotanya.
Penyebab utama dari kemalasan sosial dalam lembaga bisa disebabkan oleh berbagai faktor seperti faktor sosial, psikologi, budaya, bahkan ekonomi. Satu hal yang harus kita pahami bahwa kader itu heterogen dalam artian individu yang memiliki sifat dan watak yang berbeda-beda ini dipengaruhi oleh faktor-faktor tadi.
Jika kita melihat pada perspektif materialisme historis Marx tentang teori konflik. Bagaimana corak produksi manusia dipengaruhi oleh teknologi dan kondisi perkembangan suatu bangsa. Marx berpendapat bahwa manusia ditentukan oleh produksi mereka, baik apa yang diproduksi maupun cara mereka berproduksi. Manusia berjalan mengikuti zaman, begitupun perilaku mereka di masyarakat. Maka dari itu pentingnya perubahan sosial yang terjadi terus menerus untuk dapat beradaptasi dan bertahan hidup melewati zaman.
Begitupun dengan organisasi. Organisasi yang baik adalah organisasi yang memiliki change management yang baik. Fleksibilitas. Tidak mempertahankan status quo yang buruk tapi memperbarui kembali metode dan produk organisasi. Sejatinya organisasi mahasiswa adalah organisasi progresif, terus berubah ke arah yang lebih baik.
Dalam situasi pandemi ini terjadi disrupsi yang masif, perubahan corak produksi yang tidak terkira, dan pemakaian teknologi menjadi sangat berguna. Lalu, bagaimana dengan organisasi mahasiswa? Atau mahasiswa itu sendiri? Dengan berbagai label inovatif, kreatif, solid, dan kritis. Apakah akan memilih jalan yang sama atau berubah ke arah yang lebih progresif dan inovatif?