Kemelut Buruh Tani di Negara Agraris

Muhammad Ghazy
3 min readJan 16, 2021

--

“Ditempat-tempat demikian perjuangan rakyat untuk tuntutan-tuntutannya terutama diarahkan dan hampir eklusif adalah mengubah bentuk pemilikan tanah: dengan kata lain, pejuang gerilya diatas segalanya merupakan revolusioner agraria. Ia menginterpretasikan keinginan massa besar petani untuk menjadi pemilik tanah, alat produksi mereka, ternak-ternak mereka, segala yang telah mereka rindukan selama bertahun-tahun, terhadap perbaikan kehidupan dan kesuraman mereka selama ini.”

~Che Guevara, Esensi Perang Gerilya

Selang beberapa hari yang lalu, penulis menghadiri Diskusi Publik di Student Center FEB-UH. Pembahasan tema yang dibawakan sangat menarik yaitu “Populisme Agraria & Rezim Kebijakan Pertahanahan di Indonesia” dan dibawakan oleh Muhtar Habibi, Mahasiswa Doctoral Development Studies Soas University of London.

Prolog dari diskusi itu, audiens disuguhkan dengan pengertian mendasar petani populis, jika kita merujuk pada KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) populis adalah penganut paham populisme, sedangkan populisme adalah paham yang mengakui dan menjunjung tinggi hak, kearifan, dan keutamaan rakyat kecil. Penulis mencoba mencari kembali makna lebih dalam terkait populisme, dalam buku “Populism” yang ditulis oleh Mudde & Kaltawasser disitu dijelaskan “Populisme dapat definisikan sebagai sebuah ‘ideologi’ yang membagi masyarakat ke dalam dua kelompok bertentangan antara ‘orang-orang murni’ dan ‘elit-elit korup’. Orang-orang murni ini kerap digambarkan sebagai masyarakat umum yang dirugikan oleh pemerintah korup (para elit).

Dari situ kita dapat mengambil kesimpulan bahwa petani populis berasal dari rakyat kecil yang kerap kali disebut sebagai ‘buruh tani’ atau petani yang bekerja pada salah satu perusahaan lalu mendapatkan upah dan tidak memiliki sebidang tanah. Pembicara menjelaskan lebih spesifik mengenai buruh tani. Buruh tani memiliki esensi heterogen, terdiri dari berbagai macam watak, sifat, dan karakter serta egaliter yakni menjunjung tinggi kesetaraan.

Lanjut lagi pembicara mulai menjelaskan ‘reformasi agraria’ yang berpijak pada teori populisme yang menganggap ekonomi petani sebagai sebuah corak produksi. Pembicara menjelaskan idealnya petani seharusnya memiliki “pertanian keluarga” yang dimana petani itu sendiri yang mengelola tanahnya dan hasil panennya untuk kebutuhan keluarga sendiri, teori ini diinisiasi oleh Alexander Chayanov, namun intervensi kapitalisme yang masuk ke Indonesia mulai menghapuskan ide-ide tersebut dan banyak petani yang mengalami land loss atau kehilangan tanah yang mulai di akuisisi oleh perusahaan swasta atau pemerintah.

Tujuan utama kaum populis adalah land reform dengan memberikan akses tanah kepada buruh tani yang mengalami land loss. Di Rusia abad ke-20 menurut Lenin “buruh tani bukan merupakan masyarakat homogen melainkan masyarakat difrensisasi”, ini dikarenakan pada waktu itu petani terbagi dalam beberapa kelas social yakni buruh tani, petani independent, dan petani kapitalis. Buruh tani, seperti yang dijelaskan sebelumnya tidak memiliki sebidang tanah dan bekerja dengan petani kapitalis. Petani independen adalah petani yang tidak bekerja dengan petani kapitalis namun masih memiliki tanah dan mengolahnya sendiri tanpa mempekerjakan petani lain. Petani kapitalis adalah petani yang memiliki tanah yang luas serta mempekerjakan buruh tani lalu memberinya upah.

Dari difrensiasi tersebutlah muncul pekerja-pekerja informal yang terurbanisasi dikarenakan hegemoni petani kapitalis dan minimnya upah yang ada. Pekerja-pekerja informal yang dimaksud adalah pekerja yang tidak memiliki pekerjaan tetap dan tidak dilindungi hukum, contohnya penjual bendera musiman, tukang laundry, dan lain lain. Kaum sosialis memikirkan pekerja-pekerja informal yang dimana para pekerja ini tidak memiliki upah tetap dan tidak dilindungi oleh hukum.

Kaum sosialis dan kaum populis memiliki agenda yang berbeda. Kaum populis ingin agar para petani yang mengalami land loss tadi dapat dikembalikan hak-haknya dengan agenda land reform. Dari itu kaum sosialis tidak setuju dengan kaum populis , karena yang diurusi bukan Cuma kaum petani saja tapi bagaimana cara agar industrialisasi domestik dapat dicanangkan dan agenda land reform juga dapat berjalan. Di Indonesia Soekarno sendiri menasionalisasikan alat produksi yang dimiliki oleh Belanda lalu ditransformasikan menjadi industrialisasi domestik. Namun pada tahun 1965 gerakan tersebut direpresi oleh rezim pada waktu itu.

Pertanyaannya adalah apakah kita hanya berhenti pada tahap land reform? Atau lanjut ke industrialisasi domestik.

26 October 2019

--

--

Muhammad Ghazy
Muhammad Ghazy

Written by Muhammad Ghazy

0 Followers

An ordinary CS Student.

No responses yet